tugas mid pertemuan ke-10 hadits ke-9

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………..
Daftar Isi………………………………………………………
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang ………………………………………………
Rumusan Masalah ………………………………………………
Tujuan ………………………………………………
Bab II Pembahasan
Hak Dan Kewajiban Suami Istri ………………………………………………
1.      Pengertian Hak dan Kewajiban ………………………………………………
2.      Macam-macam Hak Antara Suami dan Istri ………………………………
3.      Macam-macam Kewajiban Suami Istri ………………………………………
Pemeliharaan Anak “Hadhanah” ………………………………………………
1.      Pengertian Dan Dasar Hukum ………………………………………………
2.      Yang Berhak Melakukan Pemeliharaan Anak  …………………………
3.      Syarat-Syarat Hadhinah Dan Hadhin ……………………………………
4.      Masa Hadhanah ………………………………………………
5.      Upah Hadhanah ………………………………………………
Bab III Penutup…………………………………………………………..
Kesimpulan…………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb
Alhamdulilah dan puji syukur ke hadirat ALLAH SWT penulis ucapkan atas rampungnya pembuatan makalah fiqih yang berjudul “Kriteria Memilih pasangan hidup menurut Syari’at Islam”
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas pelajaran agama FIQIH yang bertemakan “PASANGAN HIDUP MENURUT SYARI’AT ISLAM”. Besar harapan penulis bahwa makalah ini dapat di gunakan oleh pembaca sebagai buku tuntunan dalam memilih jodoh kedepannya. Besar harapan penulis juga buku ini akan mempermudah bagi pembaca unuk memilih jodoh baik memilih jodoh wanita ataupun memilih jodoh laki – laki.
Akhirnya, sesuai dengan kata pepatah “TIADA GADING YANG TAK RETAK”, penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak, khususnya dari bapak / ibu guru fiqih sekalian. Kebenaran, kesempatan dan kesempurnaan hayalah milik ALLAH SWT semata. Penulis juga mengucapkan basar berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini, Amiin
Akhir kata,
Wassalamualaikum wr.wb



Gondang, 25 Februari 2015

PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Islam memandang hubungan antara suami dan istri bukan hanya sekedar kebutuhan semata, tetapi lebih dari itu Islam telah telah mengatur dengan jelas bagaimana sebuah hubungan agar harmonis dan tetap berlandaskan pada tujuan hubungan tersebut, yakni hubungan yang dibangun atas dasar cinta kepada Allah Swt.
Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga yang diliputi oleh ketenangan, diselimuti cinta kasih dan jalinan yang diberkahi, Islam telah mengajarkan kepada Sang Nabi bagaimana jalinan antara suami dan istri ini bias sejalan, dapat seia dan sekata.
Maka, melalui makalah ini insyaAllah penulis akan mengupas beberapa yang berkaitan tentang hak dan kewajiban antara seorang suami dengan istri. Hak yang didasarkan pada kesadaran bukan sekedar kebutuhan, dan kewajiban yang didasari pada kasih saying dan bukan hanya menjalankan tugas belaka. Dan Islam telah menjadikan hubungan antara suami istri ini begitu indah jika kita mampu mengejawantahkannya dalam biduk rumah tangga.
B.   RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian hak dan kewajiban serta apa yang menimbulkan terjadinya hak dan kewajiban?
2.      Apa sajakah hak dan kewajiban suami terhadap istri?
3.      Apa sajakah hak dan kewajiban istri kepada suami?
4.      Apa sajakah hak dan kewajiban bersama antara suami dan istri?
5.      Apa pengertian hadanah serta hal- hal yang berkaitan dengan hadanah?


C.   TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengertian dan penyebab timbulnya hak dan kewajiban.
2.      Untuk mengetahui hak dan kewajiban suami kepada istri, istri kepada suami serta kewajiban bersama antara suami dan istri.
3.      Untuk mengetahui pengertian hadanah serta hal- hal yang berkaitan dengan hadanah 
BAB II
PEMBAHASAN
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
A.   Pengertian Hak dan Kewajiban
Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan.
Membicarakan kewajiban dan hak suami istri,terlebih dahulu kita membicarakan apa yang dimaksud dengan kewajiaban dan apa yang dimaksud dengan hak. Adalah Drs. H. Sidi Nazar Bakry dalam buku karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga Yang Sakinah mendefinisikan kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik.Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus diterima.
Lantas, pada pengertian diatas jelas membutuhkan subyek dan obyeknya.Maka disandingkan dengan kata kewajiban dan hak tersebut,dengan kata suami dan istri,memperjelas bahwa kewajiban suami adalah sesuatu yang harus suami laksanakan dan penuhi untuk istrinya.Sedangkan kewajiban istri adalah sesuatu yang harus istri laksanakan dan lakukan untuk suaminya.Begitu juga dengan pengertian hak suami adalah,sesuatu yang harus diterima suami dari isterinya.Sedangkan hak isteri adalah sesuatu yang harus diterima isteri dari suaminya.Dengan demikian kewajiban yang dilakukan oleh suami merupakan upaya untuk memenuhi hak isteri. Demikian juga kewajiban yang dilakukan istri merupakan upaya untuk memenuhi hak suami,sebagaiman yang Rosulullah SAW jelasakan:

اﻻ إن ﻟﮝﻢ ﻋﻠﻰ ﻧﺴﺎﺋﮝﻢ ﺣﻗﺎ ﻮﻟﻨﺴﺎﺋﮝﻢﻋﻠﻴﮑﻢ ﺣﻗﺎ
: ‘’ Ketahuilah sesungguhnya kalian mempunyai hak yang harus (wajib) ditunaikan oleh istri kalian,dan kalian pun memiliki hak yang harus (wajib) kalian tunaikan’’[1]
Begitulah kehidupan berumah tangga, mebutuhkan timbal balik yang searah dan sejalan. Rasa saling membutuhkan, memenuhi dan melengkapi kekurangan satu dengan yang lainnya. Tanpa adanya pemenuhan kewajiban dan hak keduanya, maka keharmonisan dan keserasian dalam berumah tangga akan goncang berujung pada percekcokan dan perselisihan.
Dengan dilangsungkan akad nikah antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang dilakukan oleh walinya, terjalinlah hubungn suami isteri dan timbul hak dan kewajiaban masing-masing timbal-balik[2].

B.   Macam-macam Hak Antara Suami dan Istri
Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak bersama, hak isteri yang menjadi kewajiban suami, dan hak suami yang menjadi kewajiban isteri.

1.    Hak-hak Bersama
Hak –hak bersama antara suami dan isteri adalah sebagai berikut :
a.    Halal bergaul antara suami-isteri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain.
b.    Terjadi hubungan mahram semenda; isteri menjadi mahram ayah suami, kakeknya, dan seterusnya ke atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu isteri, neneknya, dan seterusnya ke atas.
c.    Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri sejak akad nikah dilaksanakan. Isteri berhak menerima waris atas peninggalan suami. Demikian pula, suami berhak waris atas peninggalan isteri, meskipun mereka belum pernah melakukan pergaualan suami-isteri.
d.    Anak yang lahir dari isteri bernasab pada suaminya (apabila pembuahan terjadi sebagai hasil hubungan setelah nikah).
e.    Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan damai. Dalam hubungan ini Q.S. An-Nisa:19 memerintahkan,

... وَعَاشِرُ هُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ... (النسا :19 )                   

“Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik……”
Mengenai hak dan kewajiban bersama suami isteri, Undang-Undang Perkawinan menyabutkan dalam Pasal 33 sebagai berikut, “Suami isteri wajib cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.”

2.    Hak-hak Isteri
Hak-hak isteri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua[3]: hak-hak kebendaan, yaitu mahar (maskawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya berbuat adil di antara para isteri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan isteri dan sebagainya.
a.    Hak-hak Kebendaan
1)     Mahar (Maskawin)
Q.S. An-Nisa ayat 24 memerintahkan, “Dan berikanlah maskawin kepada perempuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka dengan senang hati memberikan sebagian maskawin itu kepadamu, ambillah dia sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa maskawin itu adalah harta pemberian wajib dari suami kepada isteri, dan merupakan hak penuh bagi isteri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan maskawin apabila diberikan oleh isteri dengan sukarela.
Q.S. An-Nisa: 24 mengajarkan, “…. Isteri-isteri yang telah kamu campuri, berikanlah kepada mereka mahar sempurna, sebagai suatu kewajiban, dan tidak ada halangan kamu perlakukan mahar itu sesuai dengan kerelaanmu (suami isteri), setelah ditentukan ujudnya dan kadarnya….”
Dari ayat tersebut diperoleh ketentuan bahwa isteri berhak atas mahar penuh apabila telah dicampuri. Mahar merupakan suatu kewajiban atas suami, dan isteri harus tahu berapa besar dan apa ujud mahar yang menjadi haknya itu. Setelah itu, dibolehkan terjadi persetujuan lain tentang mahar yang menjadi hak isteri itu, misalnya isteri merelakan haknya atas mahar, mengurangi jumlah, mengubah ujud atau bahkan membebaskannya.
Hadits Nabi riwayat Ahmad, Hakim, dan Baihqi dari Aisyah mengajarkan, “Perempuan-perempuan yang paling besar mendatangkan berkah Allah untuk suaminya adalah yang paling ringan biayanya.” Yang diamksud dengan ringan biayanya ialah yang tidak memberatkan suami, sejak dari mahar sampai kepada nafkah, pakaian, dan perumahan dalam hidup perkawinan.
Hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, dan Nasai dari Sahl Bin Sa’ad menyatakan bahwa Nabi pernah mengawinkan salah seorang sahabatnya dengan maskawin mengajar membaca Al-Qur’an yang dihafalnya (menurut salah satu riwayat, yang dihafalnya itu adalah Surah Al-Baqarah dan Ali Imran).
Hadits riwayat Bukhari-Muslim, dan lain-lain dari Anas menyatakan bahwa Nabi pernah memerdekakan Sofiah yang kemudian menjadi isteri beliau, dan yang menjadi maskawinnya adalah memerdekakannya itu.
2)    Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah mencukupkan segala keperluan isteri, meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun isteri tergolong kaya.
Q.S. Ath-Thalaq : 6 mengajarkan, “Tempatkanlah isteri-isteri dimana kamu tinggal menurut kemampuanmu; janganlah kamu menyusahkan isteri-isteri untuk menyempitkan hati mereka. Apabila isteri-isteri yang kamu talak itu dalam keadaan hamil, berikanlah nafkah kepada mereka hingga bersalin … “ Ayat berikutnya (Ath-Thalaq :7) memrintahkan, “ Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya, dan dan orang yng kurang mampu pun supaya memberi nafkah dari harta pemberian Allah kepadanya; Allah tidak akan membebani kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya ….”
Hadits riwayat Muslim menyenutkan isi khotbah Nabi dalam haji wada’. Antara lain sebagai berikut, “….. Takuttlah kepada Allah dalam menunaikan kewajiban terhadap isteri-isteri; itu tidak menerima tamu orang yang tidak engkau senangi; kalau mereka melakukannya, boleh kamu beri pelajaran dengan pukulan-pukulan kecil yang tidak melukai; kamu berkewajiban mencukupkan kebutuhan isteri mengenai makanan dan pakaian dengan makruf.”
b.    Hak-hak Bukan Kebendaan
Hak-hak  bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap isterinya, disimpulkan dalam perintah Q.S. An-Nisa: 19 agar para suami menggauli isteri-isterinya dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi, yang terdapat pada isteri.
Menggauli isteri dengan makruf dapat mencakup:
a.    Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Hadits riwayat Turmudzi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah r.a. mengajarkan, “Orang-orang mukmin yang paling baik budi perangainya, dan orang-orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isteri-isterinya.”
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. mengajarkan, “Bersikap baiklah kamu terhadap isteri-isterimu sebab orang perempuan diciptakan berkodrat seperti tulang rusuk; yang paling lengkung adalah tulang rusuk bagian atas; apabila kamu biarkan akan tetap meluruskannya, ia akan patah dan apabila kamu biarkan akan tetap lengkung, bersikap baiklah kamu terhadap para isteri.
Termasuk perlakuan baik yang menjadi hak isteri ialah, hendaknya suami selalu berusaha agar isteri mengalami peningkatan hidup keagamaannya, budi pekertinya, dan bertambah pula ilmu pengtahuannya. Banyak jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi hak isteri, misalnya melaui pengajian-pengajian, kursus-kursus, kegiatan kemasyarakatan, bacaan buku, majalah, dan sebagainya. 
b.    Melindungi  dan menjaga nama baik isteri
Suami berkewajiban melindungi isteri serta menjaga nama baiknya. Hal ini tidak berarti bahwa suami harus menutupi-nutupi kesalahan yang memang terdapat pada isteri. Namun, adalah menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan kesalahan-kesalahan isteri kepada orang lain. Apabila kepada isteri hal-hal yang tidak benar, suami setelah melakukan penelitian seperlunya, tidak apriori, berkewajiban memberikan keterangan-keterangan kepada pihak-pihak yang melontarkan tuduhan agar nama baik isteri jangan menjadi cemar.
c.    Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis isteri
Hajat biologis adalah kodrat pembawaan hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian hidup perkawinan anatara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam hidup perkawinan; bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan isteri disebabkan adanya perasaan kecewa dalam hal ini.
Salah seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Amr yang terlalu banyak menggunakan waktunya untuk menunaikan ibadah; siang untuk melakukan puasa dan malam harinya untuk melakukan shalat, diperingatkan oleh Nabi yang antara lain. “Isterimu mempunyai hak yang wajib kau penuhi.
Demikian pentingnya kedudukan kebutuhan biologis itu dalam hidup manusia sehingga Islam  menilai hubungan suami isteri yang antara lain untuk menjaga kesucian diri dari perbuatan zina itu sebagai salah satu macam ibadah yang berpahala. Dalam hal ini hadits Nabi riwayat Muslim mengajarkan, “Dan dalam hubungan kelaminmu bernilai shadaqah.” Mendengar kata Nabi itu para sahabat bertanya, “ Ya Rasulullah, apakah salah seorang di antara kita memenuhi syahwatnya itu memperoleh pahala?” Nabi menjawab, “Bukkankah apabila ia melakukannya dengan yang haram akan berdosa? Demikian sebaliknya, apabila ia memenuhinya dengan cara yang halal akan mendapat pahala.” 

3.    Hak-hak Suami
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi isteri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab menurut hukum Islam isteri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup keluarga. Bahkan, lebih diutamakan isteri tidak usah ikut bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar isteri dapat mencurahkan perhatiannya untuk melaksanakan kewajiban membina keluarga yang sehat dan mempersiapkan generasi yang saleh. Kewajiban ini cukup berat bagi isteri yang memang benar-benar akan melaksanakan dengan baik. Namun, tidak dapat dipahamkan bahwa Islam dengan demikian menghendaki agar isteri tidak pernah melihat dunia luar, agar isteri selalu berada di rumah saja. Yang dimaksud ialah agar isteri jangan sampai ditambah beban kewajibannya yang telah berat itu dengan ikut mencari nafkah keluarga. Berbeda halnya apabila keadaan memang mendesak, usaha suami tidak dapat menghasilkan kecukupan nafkah keluarga. Dalam batas-batas yang tidak memberatkan, isteri dapat diajak ikut berusaha mencari nafkah yang diperlukan itu.
Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada isteri dengan cara yang baik dan layak dengan kedudukan suami isteri[4].
a.    Hak Ditaati
Q.S. An-Nisa : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami) berkewajiban memimpin kaum perempuan  (isteri) karena laki-laki mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-laki memberi nafkah untuk keperluan keluarganya. Isteri-isteri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada isteri-isteri itu. Hakim meriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : سَألْتُ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : اَىُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقَّا عَلَى الْمَرْأَةِ ؟ قَالَ : زَوْجُهَا. قَالَتْ : فَأَ ىُّ النَّاسِ اَعْظَمُ حَقَّا عَلىَ الرَّ جُلِ ؟ قَالَ : اُمُّهُ (رواه الحا كم)
 “Dari Aisyah, ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah SAW : Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap perempuan? Jawabnya : Suaminya. Lalu saya bertanya lagi: Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap laki-laki? Jawabannya: Ibunya.”

Dari bagian pertama ayat 34 Q.S. : An-Nisa tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa kewajiban suami memimpin isteri itu tidak akan terselenggara dengan baik apabila isteri tidak taat kepada pimpinan suami. Isi dari pengertian taat adalah :
1)    Isteri supaya bertempat tinggal bersama suami di rumah yang telah disediakan
Isteri berkewajiban memenuhi hak suami bertempat tinggal di rumah yang telah disediakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)      Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk isteri.
b)      Rumah yang disediakan pantas menjadi tempat tinggal isteri serta dilengkapi dengan perabot dan alat yang diperlukan untuk hidup berumah tangga secara wajar, sederhana, tidak melebihi kekuatan suami.
c)      Rumah yang disediakan cukup menjamin  keamanan jiwa dan harta bendanya, tidak terlalu jauh dengan tetangga dan penjaga-penjaga keamanan.
d)     Suami dapat menjamin keselamatan isteri di tempat yang disediakan.
2)    Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar larangan Allah
Rasulullah SAW menguatkan dalam sabdanya :

لَوْ اَمَرْتُ اَحَدَكُمْ اَنْ يَّسْجُدَ لِأ حَدٍ لَأ مَرْتُ الْمَرْأَةَ اَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَ مِنْ عِظَمٍ حَقِّهِ عَلَيْهَا (رواه ابوداود والنر مذى وابن ما جه وابن حبان).
“Andaikata aku menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya, karena begitu besar haknya kepadanya.”

Isteri wajib memenuhi hak suami, taat kepada perintah-perintahnya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)      Perintah yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada hubungannya dengan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, apabila misalnya suami memerintahkan isteri untuk membelanjakan harta milik pribadinya sesuai keinginan suami, isteri tidak wajib taat sebab pembelanjaan harta milik pribadi isteri sepenuhnya menjadi hak isteri yang tidak dapat dicampuri oleh suami.
b)      Perintah yang dikeluarkan harus sejalan dengan ketentuan syari’ah. Apabila suami memerintahkan isteri untuk menjalankan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan syari’ah, perintah itu tidak boleh ditaati. Hadits Nabi riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai dari Ali mengajarkan, “Tidak dibolehkan taat kepada seorang pun Dalam bermaksiat kepada Allah; taat hanyalah dalam hal-hal yang makruf.”
c)      Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang member hak isteri, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.
3)    Berdiam di rumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami
Isteri wajib berdiam di rumah dan tidak keluar kecuali dengan izin suami apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)      Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk isteri.
b)      Larangan keluar rumah tidak berakibat memutuskan hubungan keluarga-keluarganya, isteri tidak wajib taat. Ia boleh keluar untuk berkunjung, tetapi tidak boleh bermalam tanpa izin suami.
4)    Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami
Hak suami agar isteri tidak menerima masuknya seseorang tanpa izinnya, dimaksudkan agar ketentraman hidup rumah tangga tetap terpelihara. Ketentuan tersebut berlaku apabila orang yang dating itu bukan mahram isteri. Apabila orang yang dating adalah mahramnya, seperti ayah, saudara, paman, dan sebagainya, dibenarkan menerima kedatangan mereka tanpa izin suami.
Kewajiban taat yang meliputi empat hak tersebut disertai dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan isteri.

b.    Hak Memberi  Pelajaran
Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa mengajarkan, apabila terjadi kekhwatiran suami bahwa isterinya bersikap membangkang (nusyus), hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila dengan nasihat, pihak isteri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur dengan isteri. Apabila masih belum juga kembali taat, suami dibenarkan member pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka)[5].
Hadits Nabi riwayat Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Zam’ah mengatakan, “Apakah salah seorang di antara kamu suka memukul isterinya seperti ia memukul budak pada siang hari, kemudian pada malam hari mengumpulinya.”
Dari banyak hadits yang memperingatkan agar suami menjauhi memukul isteri itu, dapat kita peroleh ketentuan bahwa Al-Qur’an membolehkan suami member pelajaran   isteri dengan jalan memukul itu hanya berlaku apabila isteri memang tidak mudah diberi pelajaran dengan cara yang halus. Itu pun baru dilakukan dalam tingkat terakhir, dan dengan cara yang tidak mengakibatkan luka pada badan isteri dan tidak pula pada bagian muka. Kaum wanita pada dasarnya amat halus perasaannya. Nasihat-nasihat yang biasa biasanya sudah cukup untuk mengadakan perubahan sikapa terhadap suaminya. Kalau hal ini belum juga cukup, pisah tidur sudah dipandang sebagai pelajaran yang lebih berat. Namun, apabila pelajaran tingkat kedua ini belum juga membekas, pelajaran yang paling pahit dapat dilakukan, tetapi dengan cara yang tidak akan mengakibatkan cedera dan tidak pada bagian muka seperti berkali-kali disebutkan di atas.

C.   Macam-macam Kewajiban Suami Istri
1.    Kewajiban Suami Istri
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami isteri dijelaskan secara rinci sebagai berikut :
Pasal 77
1.    Suami isteri  memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2.    Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3.    Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agaamanya.
4.    Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
5.    Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 78
1.    Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2.    Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami isteri bersama.




2.    Kewajiban Suami terhadap Istri
Dalam kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap isteri dijelaskan secara rinci sebagai berikut :[6]
Pasal 80
1.    Suaminya adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan  tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
2.    Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3.    Suami wajib member pendidikan agama kepada isterinya dan member kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.
4.    Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung :
a.    Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b.    Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c.    Biaya pendidikan bagi anak.
5.    Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dan isterinya.
6.    Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7.    Kewajiban suami sebagaimana di maksud ayat (2) gugur apabila isteri nusyud.

Pasal 81
Tentang Tempat Kediaman
1.      Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya, atau bekas isteri yang masih dalam ‘iddah.
2.      Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untukisteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam ‘iddah talak atau iddah wafat.
3.      Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai penyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4.      Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Pasal 82
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih dari Seorang
1.      Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
2.      Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

3.    Kewajiban Istri Terhadap Suami
Diantara beberapa kewajiban isteri terhadap suami adalah sebagai berikut :
a.    Taat dan patuh kepada suami.
b.    Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman.
c.    Mengatur rumah dengan baik.
d.    Menghormati keluarga suami.
e.    Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
f.     Tidak mempersuli suami, dan selalu mendorong suami untuk maju.
g.    Ridha dan syukur terhadap apa yang diberikan suami.
h.    Selalu berhemat dan suka menabung.
i.      Selalu berhias, bersolek untuk atau di hadapan suami.
j.      Jangan selalu cemburu buta.
       
Dalam kompilasi hukum islam, kewajiban isteri terhadap suami dijelaskan sebagai berikut:[7]
Pasal 83
Kewajiban Isteri
1.    Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam.
2.    Isrti menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84
1.    Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1), kecuali dengan alas an yang sah.
2.    Selama isteri dalm nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3.    Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus di dasarkan atas bukti yang sah.
D.        Pemeliharaan Anak “Hadhanah”
a.           Pengertian Dan Dasar Hukum
1 . Pengertianya
            Pemeliharaan anak dalam bahasa Arab disebut  Hadhanah, namun hadhanah menurut bahasa berarti “meletakan sesuatu didekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karma ibu menyusukan anaknya dipangkuanya, seakan-akan ibu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga hadhanah di jadikan istilah yang dimaksud.
            Akan tetapi para ulama fiqih mendefinisikan Hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan ataupun sudah besar namun belum mumayyiz, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya sehingga mampu berdiri sendirib menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.[8]
            Di dalam buku lain  (H. Sulaiman Rasyd) juga di kemukakan bahwa Hadhanah diartikan “mendidik”, mendidik disini dapat di artikan bahwa menjaga , mendidik, memimpin serta mengatur dalam kehidupanya sehingga anak tersebut dapat mengatur dirinya sendiri sesuai pengertian Hadhanah tersebut.[9]

2. Dasar Hukumnya.
            Dasar hukum pemeliharaan anak, tercantum dalam surat at-Tahrim:6 yang berbunyi:
ﯿﺂﺃﯾﻬﺎﺍﻟﺬﻳﻦﺁﻤﻧﻭﺍﻘﻭﺍﺃﻨﻓﺳﻛﻡ ﻮﺃﻫﻟﻳﻛﻡ ﻨﺎﺮﺍﻭﻘﻭﺩﻫﺎﺍﻟﻨﺎﺲﻭﺍﺤﺟﺎﺮﺓ
Artinya   : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
            Pada ayat ini orang tua di tuntut untuk memelihara keluarganya agar terpelihara dari api neraka, agar seluruh anggota keluarganya ,elaksanakan perintah dan meninggalkan laranganya, termasuk anggota keluarga disini yakninya anak.[10]
            Betapa banyaknya ayat-ayat al-Qur’an  yang memerintahkan kita (ibu-bapak) untuk memelihara serta menjaga dan bertanggung jawab dalam memelihara keluarganya.

B. Yang Berhak Melakukan Pemeliharaan Anak
Seseorang anak dari permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupanya, baik seperti makan minum dll. Oleh karena itu orang yang menjaganya perlu rasa kasih saying, kesabaran, serta mempunyai keinginan agar anak itu baik di kemudian hari. Dan memiliki syarat-syarat tersebutyakninya wanita. Oleh karena itu agama menetapkan bahwa wanitalah yang pantas dalam pemeliharaan ini. Sebagaimana di sebutkan dalam hadist, yang artinya :

Arinya    : Dari Abdullah Bin Umar bahwasanyaseorang wanita berkata : ya rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya, air susukulah yang diminumnya. Bapaknya hendak mengambilnya dariku. Maka berkatalah rasulullah: engkau lebih berhak atasnya selama engkau belum menikah lagi dengan laki-laki lain.[11]
            Serta didalam riwayat lain Abu Bakar berkata : Ibu lebih cenderung kepada anaknya, lebih halus, lebih pemurah, lebih baik dan penyayang. Ia lebih bverhak atas anaknya selama ia belum kawin dengan laki-laki lain.
            Dan juga didalam buku lain dikatakan, bahwa  “Ibu adalah satu-satunya yang dapat memberikan anaknya yng dapat mengarahkan kepribadianya.[12]
            Dalam hal ini betapa banyaknya hadist-hadist Rasulullah yang menguatkan tentang hak asuh anak ini, bahwasanya anaknya lebih cenderung keibunya, namun apabila si Anak telah menginjak dewasa/baligh maka diantara kedua bellah pihak menanyakan kepadanya tanpa ada rasa penekanan, sebagaimana hadist Rasulullah :
Artinya :  bahwasanya nabi S.A.W telah menyuruh seorang anak yang sudah sedikit mengerti untuk memilih tinggal bersama bapak ibunya (H.R. Ibnu majah dan tarmidzi).[13]
            Menurut hadist-hadist diatas dapatlah diteapkan bahwa sib u dari anak adlah orang yang paling berhak melakukan hadhanah, baik masih terikat perkawinan, ataupun masa iddahnya, namun ia belum kawin dengan laki-laki lain. Sebagaimana hadist Rosulullah SAW :
Artinya   : Rosulullah s,a,w bersabda : barang siapa yang memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya niscaya Allah akan memisahkan anatara orang itu dengan kekasihnya di hari kiamat.[14]
            Oleh karena itu hakim, mantan suami, wali, ataupun orang lain dalam memisahkan anak dengan ibunya sebagaimana ancaman Rosull dalam hadistnya tadi.
            Jika ibunya telah meninggal ataupuntidak ada maka yang menjadi hadhanah ibu dari ibunya anak itu teerus keatas, begitupun sebaliknya ibu dari bapaknya hingga keatas. Jika ada yang melakukan hadhanah yaitu pemerintahnya.
            Dasar urutan orang-orang yang berhak melakukan dalam hadhanah yaitu :
1.    Kerabat pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak jika tinggkatannya dalam kerabat adalah sama.
2.    kerabat sekandung didahulukan dari kerabat yang bukan sekandung dan kerabat seibu lebih didahulukan atas kerabat bapaknya, dll.

Namun dalam hal ini untuk menjadi seorang hadhanah harus mempunyai syarat-syarat yakni :
v  Berakal
v  Merdeka
v  Menjalankan Agama
v  Dapat menjaga Kehormatan dirinya
v  Orang yang dipercaya
v  Orang yang menetap didalam negri anak yang di didiknya
v  Keadaan perempuan tidak bersuami, kecuali bersuami denga keluarga dari anak yang memang berhak pula yang untuk mendidik anak itu, maka haknya tetap.[15]

C. Syarat-Syarat Hadhinah Dan Hadhin

Ø Tidak terikat dengan sesuatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanah dengan baik, seperti hadhinah terikat dengan pekerjaan  yang berjauhan sehingga masa hadhanahnya dihabiskan untuk bekerja.
Ø Hendaknya mempunyai kemampuan untuk melakukan hadhanah.
Ø Hadhinah hendaklah orang yang tidak membenci si anak jika hadhinah orang yang membenci si anak di khawatirkan akan terjadinya kesengsaraan terhadap si anak, dll.[16]
Jadi siapa yang berhak dalam hadhanah?
Para ulama berbeda pendapat tentang hadhanah ini, siapakah yang berhak itu hadhina atau madhun ( anak ). Sebagian pengikut mazhab hanafi berpendapat bahwa hadhanah itu hak anak, sedangkan menurut Imam Syafi’I, Ahmad, serta sebagian pengikut mazhab Imam Maliki berpendapat bahwa hadhanah itu haknya hadhin. Anak termasuk salah satu anggota keluarga, jadi terpeliharanya dari api neraka hak anak yang wajib dilaksanakan orang tuanya, sebagaimana  Firman-Nya :

Artinya   : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari  neraka yang bahan bakaranya adalah manusia dan batu.[17]

Oleh karena itu hadhin terutama orang tuanya, berhak atas pendidikan dan pemeliharaan anak, karena ia memerlukan ketaqwaan anak itu, sebagaimana hadist Rosulullah :
Artinya   : Rosulullah bersabda, apabila seorang manusia meninggal dunia putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : anak sholeh yang selalu mendoakannya, shodakoh jari’ah serta ilmu yang bermanfaat.
Dari keterangan diatas nyatalah haknya hadhin serta madhun. Tentu saja dalam pelakasanaannyadiperlukan suatu kebijakan sehingga tidak memberatkan diantara kedua belah pihak.

D. Masa Hadhanah
            Didalam Al-qur’an serta hadist secara tegas tidaklah terdapat tentang masa hadhanah, hanya saja terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut. Oleh karena itu hanya saja para ulama berijtihad sendiri-sendiri, seperti halnya mazhab Hanafi berpendapat bahwa hadhanah anak laki-laki habis pada waktu dia tidak memerlukan penjagaan serta dapat mengurus kepentingan pribadinya, sedangkan wanita habis pada saat haid pertamanya. Sedangkan pendapat para mazhab Imam Syafi’i, hadhanah itu berkhir ketika sianak telah mumayyiz atau berumur lima ataupun enam tahun, dengan dasar :

Artinya            : Rosulullah bersabda, anak ditetapkan pada bapak dan ibunya sebagaimana belum mumayyiz, perempuan ditetapkan pada bapak dan ibunya.[18]

e. Upah Hadhanah
            Ibu tidak berhak atas upah hadhanah seperti menyusui, selama ia masih menjadi istri dari anak itu, atau masih dalam masa iddahnya. Karena dalam keadaan tersebut ia masih dalam keadaan dinafkahi, firman Allah S.W.T. :

Artinya      : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anak selam dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan kewajiban ayah memberikan nafkah lahir bathin kepada ibu dengan cara yang makruf.
            Adapun habis masa iddahnya maka berhak atas upah hadhanah tersebut, Allah S.W.T. berfirman :

Artinya      : Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sehingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahlah diantara kamu dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.
Tentang pemeliharaan yang belum mumayyiz, sedangkan keduanya bercerai, kompilasi hukkum islam menjelaskan :
Pasal 105
v  Pemeliharaan anak ytang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun maka hak ibunya.
v  Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anaknya untuk memilih diantara bapaknya.
v  Biaya pemeliharaan ditanggung bapaknya.[19]

Pasal 106
Ø   Orang tuanya berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan dan tidak diperbolahkan memindahkan kecuali karena keperluan mendesak.\
Ø  Orang tua bertanggung jawab atas kerugian atasyang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari dari kewajiban tersebut pada ayat (1)





BAB III
P E N U T U P

A.   KESIMPULAN
Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan pula hak dan kewajibannya selaku suami isteri dalam keluarga. Dari pemaparan makalah diatas dapat penulis simpulkan beberapa hal, diantaranya :
1.    Pengertian Hak dan Kewajiban
Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Dengan dilangsungkan akad nikah antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang dilakukan oleh walinya, terjalinlah hubungn suami isteri dan timbul hak dan kewajiaban masing-masing timbal-balik.
2.    Macam-macam Hak
b.      Hak bersama suami dan istri
c.       Hak suami atas istri
d.      Hak istri atas suami
1.      Hak-hak Kebendaan
2.      Hak-hak Bukan Kebendaan
3.    Macam-macam Kewajiban
e.       Kewajiban bersama suami dan istri
f.       Kewajiban suami kepada istri
g.      Kewajiban istri kepada suami
4.         Pemeliharaan Anak (Hadanah)
Pemeliharan anak dalam bahasa arab disebut hadhanah, namun hadhanah menurut bahasa berarti “ meletakan sesuatu ditulang rusuk atau dipangkuan” karena ibu menyusukan anaknya dipangkuannya, seakan-akan ibu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga hadhanah dijadikan istilah yang dimaksud.
            Seorang anak dari permulaan hidupnya sampai pada umur tertentu memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, baik seprti makan, minum dll. Oleh karena oitu orang yang menjaganya perlu rasa kasih saying, kesabaran, serta mempunyai keinginan agar anak itu baik dikemudian  hari. Dan yang memilki syarat-syarat tersebut wanita.
            Oleh karena itu hadhin terutama orang tuanya, berhak atas pendidikan dan pemeliharaan anak, karena ia perlu ketqwaan anak itu.

            Para ulama berbeda pendapat tentang hadhanah ini, pakah yang berhak itu hadhin atau madhun (anak). Sebagian pengikut mazaf hanafi berpendapat bahwa hadhanah itu hak anak, sedangkan menurut Imam Syafi’i, Ahmad, serta sebagian pangikut mazhab Iamam Maliki berpendapat bahwa hadhanh itu haknya hadhin. Anak termasuk salah satu anggota keluarga jadi terpeliharanya dari api neraka hak anak yang wajib dilaksanakan orang tuanya.
  
 أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ أَبِي الْوَلِيدِ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ يَغْفِرُ اللَّهُ لِرَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ أَنَا وَاللَّهِ أَعْلَمُ بِالْحَدِيثِ مِنْهُ إِنَّمَا كَانَا رَجُلَيْنِ اقْتَتَلَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كَانَ هَذَا شَأْنُكُمْ فَلَا تُكْرُوا الْمَزَارِعَ فَسَمِعَ قَوْلَهُ لَا تُكْرُوا الْمَزَارِعَ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ كِتَابَةُ مُزَارَعَةٍ عَلَى أَنَّ الْبَذْرَ وَالنَّفَقَةَ عَلَى صَاحِبِ الْأَرْضِ وَلِلْمُزَارِعِ رُبُعُ مَا يُخْرِجُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْهَا هَذَا كِتَابٌ كَتَبَهُ فُلَانُ بْنُ فُلَانِ بْنِ فُلَانٍ فِي صِحَّةٍ مِنْهُ وَجَوَازِ أَمْرٍ لِفُلَانِ بْنِ فُلَانٍ إِنَّكَ دَفَعْتَ إِلَيَّ جَمِيعَ أَرْضِكَ الَّتِي بِمَوْضِعِ كَذَا فِي مَدِينَةِ كَذَا مُزَارَعَةً وَهِيَ الْأَرْضُ الَّتِي تُعْرَفُ بِكَذَا وَتَجْمَعُهَا حُدُودٌ أَرْبَعَةٌ يُحِيطُ بِهَا كُلِّهَا وَأَحَدُ تِلْكَ الْحُدُودِ بِأَسْرِهِ لَزِيقُ كَذَا وَالثَّانِي وَالثَّالِثُ وَالرَّابِعُ دَفَعْتَ إِلَيَّ جَمِيعَ أَرْضِكَ هَذِهِ الْمَحْدُودَةِ فِي هَذَا الْكِتَابِ بِحُدُودِهَا الْمُحِيطَةِ بِهَا وَجَمِيعِ حُقُوقِهَا وَشِرْبِهَا وَأَنْهَارِهَا وَسَوَاقِيهَا أَرْضًا بَيْضَاءَ فَارِغَةً لَا شَيْءَ فِيهَا مِنْ غَرْسٍ وَلَا زَرْعٍ سَنَةً تَامَّةً أَوَّلُهَا مُسْتَهَلَّ شَهْرِ كَذَا مِنْ سَنَةِ كَذَا وَآخِرُهَا انْسِلَاخُ شَهْرِ كَذَا مِنْ سَنَةِ كَذَا عَلَى أَنْ أَزْرَعَ جَمِيعَ هَذِهِ الْأَرْضِ الْمَحْدُودَةِ فِي هَذَا الْكِتَابِ الْمَوْصُوفُ مَوْضِعُهَا فِيهِ هَذِهِ السَّنَةَ الْمُؤَقَّتَةَ فِيهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا كُلَّ مَا أَرَدْتُ وَبَدَا لِي أَنْ أَزْرَعَ فِيهَا مِنْ حِنْطَةٍ وَشَعِيرٍ وَسَمَاسِمَ وَأُرْزٍ وَأَقْطَانٍ وَرِطَابٍ وَبَاقِلَّا وَحِمَّصٍ وَلُوبْيَا وَعَدَسٍ وَمَقَاثِي وَمَبَاطِيخَ وَجَزَرٍ وَشَلْجَمٍ وَفُجْلٍ وَبَصَلٍ وَثُومٍ وَبُقُولٍ وَرَيَاحِينَ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ الْغَلَّاتِ شِتَاءً وَصَيْفًا بِبُزُورِكَ وَبَذْرِكَ وَجَمِيعُهُ عَلَيْكَ دُونِي عَلَى أَنْ أَتَوَلَّى ذَلِكَ بِيَدِي وَبِمَنْ أَرَدْتُ مِنْ أَعْوَانِي وَأُجَرَائِي وَبَقَرِي وَأَدَوَاتِي وَإِلَى زِرَاعَةِ ذَلِكَ وَعِمَارَتِهِ وَالْعَمَلِ بِمَا فِيهِ نَمَاؤُهُ وَمَصْلَحَتُهُ وَكِرَابُ أَرْضِهِ وَتَنْقِيَةُ حَشِيشِهَا وَسَقْيِ مَا يُحْتَاجُ إِلَى سَقْيِهِ مِمَّا زُرِعَ وَتَسْمِيدِ مَا يُحْتَاجُ إِلَى تَسْمِيدِهِ وَحَفْرِ سَوَاقِيهِ وَأَنْهَارِهِ وَاجْتِنَاءِ مَا يُجْتَنَى مِنْهُ وَالْقِيَامِ بِحَصَادِ مَا يُحْصَدُ مِنْهُ وَجَمْعِهِ وَدِيَاسَةِ مَا يُدَاسُ مِنْهُ وَتَذْرِيَتِهِ بِنَفَقَتِكَ عَلَى ذَلِكَ كُلِّهِ دُونِي وَأَعْمَلَ فِيهِ كُلِّهِ بِيَدِي وَأَعْوَانِي دُونَكَ عَلَى أَنَّ لَكَ مِنْ جَمِيعِ مَا يُخْرِجُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ فِي هَذِهِ الْمُدَّةِ الْمَوْصُوفَةِ فِي هَذَا الْكِتَابِ مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا فَلَكَ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِهِ بِحَظِّ أَرْضِكَ وَشِرْبِكَ وَبَذْرِكَ وَنَفَقَاتِكَ وَلِي الرُّبُعُ الْبَاقِي مِنْ جَمِيعِ ذَلِكَ بِزِرَاعَتِي وَعَمَلِي وَقِيَامِي عَلَى ذَلِكَ بِيَدِي وَأَعْوَانِي وَدَفَعْتَ إِلَيَّ جَمِيعَ أَرْضِكَ هَذِهِ الْمَحْدُودَةِ فِي هَذَا الْكِتَابِ بِجَمِيعِ حُقُوقِهَا وَمَرَافِقِهَا وَقَبَضْتُ ذَلِكَ كُلَّهُ مِنْكَ يَوْمَ كَذَا مِنْ شَهْرِ كَذَا مِنْ سَنَةِ كَذَا فَصَارَ جَمِيعُ ذَلِكَ فِي يَدِي لَكَ لَا مِلْكَ لِي فِي شَيْءٍ مِنْهُ وَلَا دَعْوَى وَلَا طَلِبَةَ إِلَّا هَذِهِ الْمُزَارَعَةَ الْمَوْصُوفَةَ فِي هَذَا الْكِتَابِ فِي هَذِهِ السَّنَةِ الْمُسَمَّاةِ فِيهِ فَإِذَا انْقَضَتْ فَذَلِكَ كُلُّهُ مَرْدُودٌ إِلَيْكَ وَإِلَى يَدِكَ وَلَكَ أَنْ تُخْرِجَنِي بَعْدَ انْقِضَائِهَا مِنْهَا وَتُخْرِجَهَا مِنْ يَدِي وَيَدِ كُلِّ مَنْ صَارَتْ لَهُ فِيهَا يَدٌ بِسَبَبِي أَقَرَّ فُلَانٌ وَفُلَانٌ وَكُتِبَ هَذَا الْكِتَابُ نُسْخَتَيْنِ

(NASAI - 3866) : Telah mengabarkan kepada kami Al Husain bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman bin Ishaq dari Abu 'Ubaidah bin Muhammad dari Al Walid bin Abu Al Walid dari 'Urwah bin Az Zubair, dia berkata; telah berkata Zaid bin Tsabit; semoga Allah mengampuni Rafi' bin Khadij. Demi Allah, saya lebih mengetahui hadits dari pada dia. Sesungguhnya dahulu kami adalah dua orang yang berperang, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila hal ini keadaan kalian maka janganlah menyewakan sawah." Maka dia mendengar sabda beliau: "janganlah menyewakan sawah." Abu Abdur Rahman berkata; "Penulisan perjanjian muzara'ah adalah bahwa benih dan biaya ditanggung pemilik tanah dan untuk orang yang menanam seperempat dari apa yang Allah 'azza wajalla keluarkan dari tanah tersebut. Ini adalah perjanjian yang ditulis oleh Fulan bin Fulan bin Fulan dalam keadaan sehat. Dan persetujuan Fulan bin Fulan adalah; "Sesungguhnya engkau telah menyerahkan kepadaku seluruh tanahmu yang ada di tempat ini, di Kota ini, dengan sistem muzara'ah. Tanah tersebut adalah tanah yang dikenal dengan ini, dan dibatasi oleh empat batasan yang mengelilingi seluruhnya. Salah satu batasan tersebut seluruhnya menempel pada ini. Dan yang kedua dan ketiga serta keempat engkau telah menyerahkan seluruh tanahmu yang dibatasi ini dalam surat perjanjian ini dengan batas-batas yang mengelilinginya dan seluruh haknya, air minumnya, sungainya, dan pengairannya adalah tanah kosong yang tidak ada tanamannya satu tahun penuh, awalnya adalah permulaan bulan ini dari tahun ini, dan berakhir dengan berlalunya bulan ini dari tahun ini, agar saya menanami seluruh tanah yang dibatasi ini dalam surat ini yang telah disebutkan tempatnya pada surat tersebut pada tahun terbatas ini dari awal hingga akhir. Seluruh apa yang saya inginkan dan saya kehendaki untuk saya tanam padanya berupa gandum dan jewawut, bijan, padi, kapas, kurma, kacang baqil, kacang himmash, kubis, kacang adas, mentimun, semangka, wortel, syaljam, lobak, bawang merah, bawang putih, sayur-sayuran, kemangi dan yang lainnya dari seluruh hasil bumi pada musim dingin dan panas dengan benih dan bijianmu, semuanya adalah tanggunganmu, agar saya mengurusinya dengan tanganku dan orang-orang yang saya kehendaki dari para pembantuku dan orang-orang upahanku, sapiku, alat-alatku hingga menanam hal itu, memakmurkannya, mengerjakan apa yang bisa mengembangkan dan memberikan kemaslahatan kepadanya, mengolah tanah, membersihkan rumput, menyirami apa yang perlu disirami dari tanaman yang ditanam, memupuk apa yang perlu dipupuk, menggali pengairan serta sungainya, memetik yang dipetik darinya, melakukan pemanenan apa yang dipanen darinya, mengumpulkannya, menebah apa yang ditebah dan memotongnya dengan biaya darimu atas semua itu. Dan saya akan mengerjakannya dengan tanganku, dan pembantumu tanpa dirimu, dan engkau mendapatkan seluruh apa yang Allah 'azza wajalla keluarkan dari semua hal itu dalam waktu yang telah disebutkan dalam surat ini dari awal hingga akhir. Engkau mendapatkan tiga perempat dengan bagian tanahmu, air minummu, benihmu dan biayamu. Dan saya mendapatkan seperempat sisanya dari semua itu dengan penanamanku, pekerjaanku serta pelaksanaanku terhadap hal tersebut dengan tanganku, dan para pembantuku. Dan engkau menyerahkan kepadaku seluruh tanahmu yang terbatas ini yang terdapat dalam surat ini dengan seluruh hak-haknya dan pengawasannya. Dan saya mengambil seluruh hal tersebut darimu pada hari ini dari bulan ini dari tahun ini. Sehingga semua itu berada di tanganku untukmu, tidak saya miliki sedikitpun darinya dan tidak ada pengklaiman, serta pernuntutan kecuali muzara'ah yang tersebut dalam surat ini pada tahun ini yang telah disebutkan dalam surat. Kemudian apabila telah selesai maka semua itu dikembalikan kepadamu dan ketanganmu dan engkau berhak mengeluarkan saya setelah selesainya tahun tersebut dari muzara'ah dan engkau mengeluarkannya dari tanganku dan tangan setiap orang yang memiliki campur tangan dengan sebab diriku. Telah diikrarkan oleh Fulan dan Fulan. Dan surat tersebut ditulis sebanyak dua lembar."[2]

Postingan populer dari blog ini

hadits pertemuan ke-15

hadits pertemuan ke-13

Hadits pertemuan ke-7