hadits pertemuan ke-12
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ هِشَامِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَنْفَجْنَا أَرْنَبًا بِمَرِّ الظَّهْرَانِ فَسَعَى الْقَوْمُ فَلَغَبُوا فَأَدْرَكْتُهَا فَأَخَذْتُهَا فَأَتَيْتُ بِهَا أَبَا طَلْحَةَ فَذَبَحَهَا وَبَعَثَ بِهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَرِكِهَا أَوْ فَخِذَيْهَا قَالَ فَخِذَيْهَا لَا شَكَّ فِيهِ فَقَبِلَهُ قُلْتُ وَأَكَلَ مِنْهُ قَالَ وَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ بَعْدُ قَبِلَهُ
(BUKHARI - 2384) : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Hisyam bin Zaid bin Anas bin Malik dari Anas radliallahu 'anhu berkata: "Kami pernah disibukkan untuk menangkap kelinci di lembah Marru Azh-Zhohran, orang-orang berusaha menangkapnya hingga mereka keletihan. Kemudian aku bisa menangkapnya lalu aku bawa menghadap Abu Tholhah. Maka dia menyembelihnya kemudian dikirim daging paha depannya atau paha belakangnya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dia (Anas) berkata: "Daging pahanya dan tidak diragukan lagi. Lalu Beliau menerimanya". Aku bertanya: "Apakah Beliau memakannya?". Dia berkata: "Ya Beliau memakannya". Kemudian dia sambung: "Setelah menerimanya".
Nabi menganggap daging bersih. Menurut riwayat Ibnu Abbas, "Nabi memakan daging yang ada di tulang punggung, kemudian setelah itu beliau bangkit dan sholat tanpa berwudhu lagi" (Bukhari).
Nabi mengonsumsi daging selama perjalanannya. Jabir bin Abdullah meriwayatkan, "Selama masa Nabi, kami biasa membawa daging hewan qurban (sebagai makanan perjalanan) ke Madinah" (HR Bukhari)
Kemudian menurut riwayat Aisyah, Nabi mengagumi pemberian daging. "Saya tidak pernah merasa begitu cemburu pada wanita mana pun seperti saya terhadap Khadijah, meskipun dia telah meninggal tiga tahun sebelum Nabi menikahi saya, dan itu karena saya mendengar dia terlalu sering menyebut-nyebutnya, dan karena Tuhannya telah memerintahkan dia untuk memberikan kepadanya kabar gembira bahwa dia akan memiliki istana di surga, terbuat dari qasab, dan karena dia biasa menyembelih seekor domba dan membagikan dagingnya kepada teman-temannya." (HR Bukhari)
Secara sosiologis, memberi hadiah akan menimbulkan rasa cinta di antara sesama, ukhuwah, dan memperteguh kohesi sosial. Nabi SAW bersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai.” (HR. Bukhari).
Secara sosiologis, memberi hadiah akan menimbulkan rasa cinta di antara sesama, ukhuwah, dan memperteguh kohesi sosial. Nabi SAW bersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai.” (HR. Bukhari). Prakondisi seperti ini menjadi preseden baik untuk membangun persatuan dan kesatuan negara-bangsa Indonesia.
Dalam ayat ini Allah SWT menyebutkan, “memberi kepada kaum kerabat”. Maksudnya, menurut pengarang Tafsir Jalalain, mereka dinyatakan secara khusus dalam ayat ini, sebagai pertanda bahwa mereka harus dipentingkan terlebih dahulu. Begitu juga kiranya dalam soal memberi hadiah, hendaknya kaum kerabat atau famili terdekat diberi prioritas.
Berbeda dengan sedekah, terutama sedekah wajib atau zakat, kaum kerabat yang fakir dan miskinlah yang harus diutamakan. Dalam yurisprudensi Islam, hadiah bukanlah sedekah kendati bernilai ibadah. Hadiah dapat diberikan kepada siapa saja, tanpa memandang miskin ataupun kaya, namun tidak demikian halnya untuk sedekah dan zakat.
Abu Hurairah bercerita bahwa ketika Rasulullah SAW disodorkan makanan, beliau bertanya dahulu apakah makanan tersebut berasal dari hadiah ataukah sedekah. Kalau itu sedekah, beliau berkata, “Kalian makan saja makanan tersebut”. Namun kalau makanan tersebut adalah hadiah, maka beliau menyantapnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Diceritakan dalam hadits yang ditulis oleh Imam Nasa’I, suatu hari bibi dari Ibnu Abbas yang bernama Ummu Hafidz pernah memberi hadiah kepada Rasulullah SAW berupa keju, samin, dan daging biawak. Nabi SAW memakan samin dan keju namun meninggalkan daging biawak. Lagi-lagi informasi ini menegaskan nabi saw menerima hadiah.
Perlu dicatat di sini bahwa hadiah yang diberikan harus berupa barang yang halal. “Apa yang disebut halal, menurut Nabi SAW, adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya dan yang disebut haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya, sedang apa yang Dia diamkan maka itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu.” (HR. Turmudzi).
Daging biawak di kalangan masyarakat Arab pada masa awal Islam termasuk komoditas yang Nabi saw diamkan. Hal ini kemudian menjadi sunah taqririyah (yang mendapat persetujuan Nabi SAW). Beliau sendiri tidak mengkonsumsinya, kendati Allah SWT memaafkan orang yang memakannya. Namun sebagai sebuah hadiah, Nabi SAW tetap menerimanya.
Sekian,kurang lebihnya saya mohon maaf🙏